MEMORIAL

Kenangan Terakhir Bersama Jan Kusnadi

25 Oktober 2012, Seolah tak percaya begitu suara di speaker handphone berbunyi "Jan Kusnadi telah tiada". Menyusul kemudian tulisan di handphone bertubi-tubi via sms, bbm bahkan beberapa via telpon langsung menanyakan kepastian dan kebenaran berita duka yang seolah-olah saya lebih mengetahui dari yang lain. Ternyata kenyataan ini juga dialami rekan-rekan lain, yang tidak lain sebenarnya butuh konfirmasi seolah tidak percaya dan tidak menerima berita duka yang membuat gempar rekan-rekan Dhammasena, Sehingga terjadi perputaran informasi yang berkutak berkeliling sekitar pertemanan Dhammasena via Facebook, Blackberry, sms, bbm dan lainnya.

Kenyataan tak dapat disangkal, memang demikian adanya, pencipta lagu Mars Dhammasena sudah tiada. Berbagai kenangan lama yang entah sudah berapa tahun lama tenggelam , tiba-tiba muncul kembali seolah baru saja bersua dan bersena gurau. Foto-foto lama nan kabur tiba-tiba muncul kembali diantara foto-foto yang terselip dan tersimpan dalam jejaringan sosial internet. Wajah Jan Kusnadi timbul di Blackberry dan Facebook berbagai pose, ucapan belasungkawa, komentar dan pesan-pesan menyertai kepergian beliau yang tidak pernah diduga.

Ingatan pertama muncul dan masih begitu melekat erat hingga sekarang saat, dan mungkin hingga akhir hayatku, adalah lalu ciptaanya "Tanha dan Ego Manusia". Pertama mendengar lagu dengan nada yang mengalun dan syair yang sederhana namum mengandung makna yang dalamnya, membuat pikiran ini ingin mengetahui arti kehidupan. Mengulang kembali mendengar kedua kali, menyelami begitu dalamnya makna yang terkandung pada lagu tersebut arti kehidupan dan pesan yang hingga saat ini terus mengiang di telinga. Tidak sabar untuk ingin lebih mengerti, dengar lagi yang ketiga kali. Nah kali ini makna lagu seolah menyatu dalam hati sanubari, sehingga semua kalimat-kalimat dan nada langsung begitu melekat dalam pikiran. Tidak perlu mendengar yang keempat kali, karena semua syair dan nada secara spontan keluar dari mulut melalui curahan hati dan pikiran. Ya betul saya hafal lagu secara spontan, dan hebatnya kini sudah lebih dari 20 tahun syair dan nada itu, saya masih ingat. Melalui syair-syair itulah sifat-sifat ego aku kikis. Disaat ego muncul, lagu itu lah yang menyadariku betapa penting hidup saling mengasihi. Akan ku kupas secara detail secara tuntas kalimat-perkalimat, kata-perkata lagu tersebut melalui artikel terpisah dari ceritaku ini.

Begitu melekatnya lagu tersebut, disaat akan diadakan reuni dan Hut Dhammasena ke 25 terbesit ide mengabadikan dan melestarikan lagu-lagu ciptaan Jan Kusnadi. Walau sudah lama tak bertemu, untung saya berhasil berkomunikasi via ym dan membuat jadwal bertemuan untuk minta ijin lagu-lagu ciptaannya direkam ulang dalam CD lagu untuk di sebarkan saat reuni Dhammasena. Dengan senang hati beliau memberi ijin rekam ulang dalam CD lagu dan diduplikas di bagikan saat reuni dan HUT 25 tahun Dhammasena Trisakti, Beliau juga meminjamkan kaset simpanannya pada saya, kaset yang berjudul lomba cipta lagu Buddhist KMBJ yang berisi ciptaannya. Beliaupun telah mendengar dan menyetujui hasil arrangement yang kemudian di perbanyak dibagikan saat reuni.
Kini saya begitu bersyukur betapa berharganya ide kecil tersebut. Walau penciptanya telah tiada beliau sudah memberikan ijin kepada Dhammasena Trisakti kapan pun ingin diperbanyak kembali dan dengan senang hati jika dikenang sepanjang masa. Lagu-lagu ciptaan Jan Kusnadi diberikan pada Dhammasena Trisakti.

Tahun 2009, Beberapa bulan sebelum reuni Dhammasena dan HUT 25 tahun Dhammasena. Saya, Jan Kusnadi dan beberapa aluimni lainnya mengadakan pertemuan salah satu mall di Kelapa Gading, dalam rangka minta ijin lagu-lagu nya diperbanyak dan serta mengkoreksi hasil arrangement. Saat itu beliau dengan semangat bercerita kenangan-kenangan indah disaat aktif di Dhammasena. Lagu "Mars Dhammasena" diciptakan karena keinginannya untuk meningkatkan semangat persatuan umat Buddha Trisakti untuk mau terus belajar dan berkarya. Tidak hanya terbatas lagu, beliaupun mau memberikan panutan melalui penerbitan media komunikasi Swara Dhammasena. Usaha yang dirintis tentu memerlukan tekad yang luar biasa besar. Dengan SDM yang terbatas, beliau tetap dengan tekad dan berkomitmen Swara harus terbit 2x dalam sebulan. Para pertemuan itu beliau mengatakan, waktu itu menjelang deadline adalah saat stress dimana artikel dan naskah harus sudah terkumpul dan di layout serta dilakukan sendiri. Inilah pembelajaran berharga darinya, beliau berkomitmen dan berani membuat jadwal yang ketat, disiplin waktu untuk menghasilkan karya untuk Dhammasena. Rela meluangkan waktunya membuat media komunikasi menyalurkan aspirasi, ide dan kreatifitas para anggota Dhammasena. Dalam hati saya bersyukur betapa berharga pengalaman ini, betapa senangnya saya dapat meneruskan perjuanganya menerbitkan swara dhammasena setelah periode setelah Jan Kusnadi. Dan mengubah tampilan tahap demi tahap hingga terbentuk Majalah Swara Dhammasena. Walau majalah Swara Dhammasena pernah mengalami proses kekosongan, namum kami para alumni tetap bertekad menerbitkan kembali prestasi yang telah mengharumkan nama Dhammasena.
Tidak berhenti di media cetak, Jan Kusnadi terus berusaha mengharumkan nama Dhammasena dengan mengikuti lagu ciptaanya berjudul "Sang Bhagava" dan "Tanha dan Ego Manusia" pada kancah perlombaan cipta lagu Buddhist KMBJ. Juara 2 pun diraihnya untuk lagu "Tanha dan Ego Manusia".

Walau sudah lulus kuliah dan tidak aktif di Dhammasena, beliau tetap menyalurkan hobby dan aspirasinya melalui penulisan novel fiktif, melalui akun Facebook beliau memperkenal buku ciptaannya di terbitkan oleh penerbit ternama. Melalui rasa keinginan tahu, saya beli di toko buku gramedia. Setelah membaca seluruh buku setebal 360 halaman dibaca dalam 2 hari, saya berikan apresiasi ssebesar-besarnya atas karyanya. Gaya bahasa yang indah, alur cerita yang mudah dipahami membuat pembaca berkeinginan mengetahui alur ceritanya. Dengan gaya konsep kronologi terbalik buku ini tetap mudah dipahami. Sesibuk apapun usaha bisnisnya, beliau tetap berusaha mengasah kemampuannya hingga karyanya dicetak penerbit besar ufuk publishing.

Dipertemuan itu pula lah saya minta kesediaanya untuk kembali bersama-sama membuat karya besar di Dhammasena. Dengan adanya persamaan ide dan pengalaman media di Dhammasena, maka disela-sela kesibukan saya dan Jan Kusnadi, kami bersepakat menciptakan karya bersama untuk Dhammasena. Namum karya yang belum kunjung usai, Jan Kusnadi telah meninggalkan kita selamanya. Semua usaha yang dirintis tentu tidak dapat dilanjutkannya. Lalu bagaimanakah kelanjutan karya bersama ini yang sudah sempat berjalan ? Apakah dapat dituntaskan tanpa kehadiran Jan Kusnadi ? Mungkinkah perannya dapat digantikan orang lain ? Mampu saya menyelesaikan seorang diri ? Tentu semua jawab ada pada diri saya sendiri. Butuh tekad dan komitmen yang berlipat dari sebelumnya. Semoga terwujud.
Walau sudah tidak aktif di kepengurusan Dhammasena sebenarnya masih banyak hal dapat kita lakukan.

Pada saat kita berkumpul banyak ide-ide bagus yang dilontarkan, banyak yang setuju, banyak yang dukung dan sebenarnya banyak yang bisa dikerjakan. Namun disaat kita berpisah, disaat itu pulalah ide-ide tersebut kembali dilupakan. Waktu terus berjalan, usia terus bertambah, tenaga terus menurun, dan kita pun satu persatu akan berpisah selamanya di kehidupan ini. Ada yang mengatakan hidup begitu cepat dan singkat, benarkah demikian ? Kehidupan kita akan bermakna bila apa yang kita lakukan bermanfaat bagi orang banyak. Tidak penting cepat atau lambat hidup ini berlangsung. Yang penting bagaimana sisa hidup ini benar-benar dimanfaatkan dengan melakukan hal-hal yang berarti dan bermanfaat untuk orang banyak.

Jan Kusnadi salah satu panutan yang patut kita contoh, karya lagu ciptaannya selalu sering kita nyanyikan, karyanya tidak lekang oleh waktu. Adakah orang lain seperti Jan Kusnadi ? ADA, diri kita sendiri jika kita MAU terus belajar berkarya selalu dalam Dhamma, lihat dengan dhamma, dengar dengan dhamma bertindak dalam Dhamma.
(Hamzah)