ARTIKEL

Jangan Jadikan Stres sebagai Hambatan Menuju Kesuksesan

Kemajuan zaman baikan pisau bermata ganda, di satu sisi memberikan kemudahan hidup tetapi di sisi lain memberikan tekanan mental bagi yang belum siap menghadapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepat. Sehingga, timbullah penyakit yang dikenal dengan stress. Oleh masyarakat awam stress seringkali diartikan sama dengan gangguan jiwa, padahal stress bukanlah gangguan jiwa. Faktanya stres dapat dialami oleh siapa saja. Mengapa kita perlu mengenal stress?

Yang dimaksud dengan stress secara definisi adalah kondisi atau keadaan tubuh yang terganggu karena tekanan psikologis. Ada 2 (dua) jenis stress. Pertama adalah Eustress atau stres yang positif. Disebut positif karena dapat memotivasi individu untuk melakukan suatu tindakan. Kedua adalah Distress atau stress yang negatif. Distress terjadi jika tingkat stres cukup tinggi atau cukup rendah dan tubuh bereaksi secara negatif terhadap penyebab stres tersebut.

Ada macam-macam penyebab atau sumber stress, antara lain lingkungan, pekerjaan, sekolah/kuliah, keluarga, diri pribadi, ekonomi, dan masih banyak lagi. Semua sumber stress disebut dengan istilah stressor. Stress dapat mengakibatkan timbulnya gejala fisik, gejala psikis, dan gejala perilaku. Contohnya saat cemas menunggu ujian maka tangan dan kaki terasa dingin, atau ingin buang air kecil. Hal ini berarti saat timbul stress tubuh segera bereaksi sebagai respon terhadap stressor. Apabila stress dibiarkan tanpa ditangani dengan baik maka dapat timbul perubahan pada perasaan, pikiran, dan perilaku. Apabila perubahan tersebut bertambah berat sehingga menimbulkan penderitaan dan mengganggu rutinitas harian maka bisa jadi telah timbul suatu gangguan jiwa.

Di saat muncul banyak masalah, kita cenderung bereaksi dengan panik dan memunculkan emosi negatif. Padahal kepanikan justru membuat kita semakin sulit berkonsentrasi. Jika konsentrasi buyar, kita menjadi semakin cemas. Apa yang bisa dilakukan dalam kondisi demikian? Kita hanya perlu memiliki ketrampilan mengendalikan gelombang otak yang bisa memudahkan kita menenangkan diri di saat panik.

Menurut Erbe Sentanu dari Katahani Institute, pada masa anak-anak mudah sekali mengubah gelombang otaknya memasuki frekuensi alpha-theta, maka ketika mereka baru saja saling mencakar dan sama-sama menangis maka dengan cepat mereka akan kembali ketawa bersama seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Frekuensi alpha-theta ini normalnya kita alami ketika sedang rileks, melamun dan berimajinasi. Berbeda dengan kondisi beta yang dominan ketika kita dalam kondisi sadar sepenuhnya dan lebih banyak menggunakan akal pikiran. Memasuki frekuensi alpha-theta itu sebenarnya merupakan ketrampilan manusia yang alami. Namun, ketika mulai sekolah, kita dikondisikan menyetel gelombang otak yang dominan beta. Jadi, begitu menjadi orang dewasa, keterampilan memasuki kondisi alpha-theta itu hilang.

Apalagi tuntutan kehidupan modern membuat pikiran orang terfokus untuk bekerja keras demi tuntutan materi dan kehidupan yang konsumtif

meskipun terpaksa mengurangi waktu tidur dan istirahat. Padahal saat tidur manusia seharusnya merasakan keempat frekuensi. Dari frekuensi beta di mana kita dalam kesadaran penuh, gelombang otak turun ke alpha ketika kedua mata tertutup, lalu masuk ke theta, dan akhirnya ke delta saat kita tertidur pulas tanpa mimpi. Karena waktu tidur kurang, maka kita cenderung kurang mengalami kondisi alpha-theta, akibatnya kita makin mudah stres. Alfa-Theta, membuat tenang, bahagia dan kreatif.

Menurut pandangan Agama Buddha, sumber dari stress adalah adanya keinginan. Memiliki keinginan adalah wajar sejauh kita tidak menjadi budak keinginan kita sendiri. Stress dapat timbul bila orang bersikap terlalu kaku pada keinginannya sendiri tanpa memiliki kesadaran bahwa kadang orang harus menyesuaikan diri antara keinginan dengan kenyataan yang dihadapi. Dengan kata lain, orang sering tidak siap dan tidak berkeinginan menghadapi perubahan. Dalam masalah ini, perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang mengarah pada hal yang tidak membahagiakan.

Salah satu cara mengendalikan keinginan dengan kerelaan atau keikhlasan, baik kerelaan materi maupun non materi. Kerelaan materi akan lebih mudah dilakukan karena lebih kelihatan secara indriawi. Kerelaan non-materi atau kerelaan batin agak lebih sulit dilakukan. Kerelaan non-materi dapat dikatakan sebagai bentuk kerelaan yang lebih tinggi daripada kerelaan materi, karena membutuhkan sikap mental untuk tidak mementingkan diri sendiri. Beberapa bentuk kerelaan non-materi adalah nasehat, pengendalian diri dan peka pada kondisi lingkungan. Jika mampu melaksanakan bentuk kerelaan di atas, secara otomatis akan menimbulkan kebahagiaan, perasaan menjadi ringan.Perasaan ini akan menambah semangat hidup dan ketenangan batin serta dapat membebaskan diri dari stress.

Sumber langsung dari stress itu sendiri bermula dari pikiran, untuk mencapai tahap ketenangan batin ini sarana lain yang diperlukan yaitu meditasi. Karena lewat meditasi mengarahkan batin seseorang untuk dapat menyadari bahwa hidup adalah saat ini, bukan masa lalu maupun masa yang akan datang. Bila batin telah mencapai tahap ini, batin akan mampu memisahkan antara keinginan yang diperlukan saat ini dari keinginan yang dapat ditunda atau bahkan keinginan yang perlu dihilangkan. Dengan demikian, maka orang akhirnya dapat menundukkan keinginannya sendiri dan terbebaslah ia dari stress.

Istilah ‘stress’ kelihatannya baru muncul dalam beberapa dekade belakangan ini, tetapi sesungguhnya sejak jaman Sang Buddha hidup bahkan mungkin jauh sebelumnya itu kondisi stress ini telah dialami umat manusia. Oleh karena itu, Ajaran Sang Buddha bukan hanya berisikan petunjuk untuk mengembangkan kebahagiaan yang telah dimiliki, namun juga berisikan kiat-kiat untuk memperbaiki situasi lahir batin yang sedang dihadapi. Apabila kondisi lahir batin dapat diselaraskan dengan kenyataan hidup, maka terbebaslah orang dari stress. Kini, pengertian untuk mengatasi stress sebagai fenomena era globalisasi dan teknologi telah diberikan, tinggal dilaksanakan. Sesungguhnya menurut Sabda Sang Buddha: Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.