KISAHKU

Mengukir sejarahku di Dhammasena

Waktu berjalan begitu cepat dan terus bergulir. Memasuki Tahun ajaran baru aku jadi teringat masa-masa kuliah dulu. Empat belas tahun yang lalu aku datang ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikanku di salah satu Universitas swasta bernama Trisakti, universitas yang cukup ternama kala itu. Kalau ditanya mengapa aku memilih Trisakti, itu karena kebetulan jurusan yang aku minati, Teknik Industri, memiliki reputasi yang bagus di Universitas ini. Mengenang masa-masa kuliah mengingatkanku pada sebuah nama: Dhammasena. Dhammasena yang artinya Prajurit Dhamma, mungkin dari sinilah awalnya aku bisa mengenal Dhamma ajaran Buddha yang begitu indah.

Aku lahir di keluarga Buddhis, ibuku seorang mantan aktivis di Wihara di kota kelahirannya. Setelah menikah dengan ayahku, dan pindah ke kota kecil, otomatis kegiatannya di Wihara jadi terhenti, dan sayangnya kota kecil kami tidak memiliki Wihara kala itu. Sekolah terbaik di tempat tinggalku adalah sekolah yang tidak mempelajari agama Buddha, dari TK hingga SMU aku bersekolah di sekolah tersebut dan mendapatkan pendidikan agama yang sama. Seberang rumahku adalah tempat ibadah dan karena Kakek dari ayahku beragama bukan beragama Buddha, sedari kecil aku yang merupakan cucu perempuan satu-satunya yang tinggal serumah, sering diajak ikut menghadiri misa tempat ibadah tersebut. Boleh dikatakan aku belajar dan mengenal agama lain lebih banyak daripada aku belajar agama Buddha yang hanya secara sekilas diajarkan oleh ibuku. Namun entah mengapa, kala itu aku sama sekali tidak tertarik untuk berpindah keyakinan, meskipun belum tentu sebulan sekali aku pergi ke Wihara. Setiap kali datang ke Wihara, aku merasakan kerinduan dan kedamaian yang tidak kutemukan di tempat yang lain. Aku sendiri tak tahu mengapa bisa demikian, tapi sekarang aku bisa mengerti, semua tidak terlepas karena jalinan jodoh karma kehidupan lampau. Segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya, bisa mengenal Dharma ajaran Buddha adalah sebuah berkah, dan aku sangat bersyukur karenanya.

Dengan latar belakang seperti itu, pertama kali yang kulakukan setelah masuk ke Trisakti adalah mencari tahu tentang keberadaan Dhammasena. Saat itu aku sudah mendengar tentang Dhammasena dari kakak sepupuku yang dulu berkuliah di Trisakti. Dari ceritanya tentang Dhammasena membuatku tertarik untuk mengetahui apa sih Dhammasena itu secara lebih jauh. Kebetulan aku suka ikut kegiatan, dan yang utama buatku sebenarnya adalah ingin mengenal agama Buddha lebih mendalam. Aku ingat kala itu masih ada ospek di Cibubur. Selama tiga hari seluruh mahasiswa baru harus berkemah di bumi perkemahan Cibubur dan diospek habis-habisan oleh senior. Di tengah kondisi penyiksaan, mungkin yang paling ditunggu-tunggu adalah sesi kebaktian, karena saat itulah kami bisa ’bebas’ untuk sejenak. Itulah pertama kalinya aku berkenalan dengan Dhammasena, dan kesan yang kutangkap pertama kali adalah menyenangkan! Menyenangkan, karena saat itu kami mahasiswa baru dihibur dengan pertunjukan parodi yang cukup membuat kami tertawa senang dan sejenak melupakan segala derita kami selama masa ospek. Kakak-kakak senior di Dhammasena juga sangat ramah dan memperlakukan kami dengan baik.

Dari perkenalan itu aku mulai terlibat di Dhammasena, karena hobiku menyanyi, aku ikut di dalam paduan suara Dhammasena. Tidak hanya paduan suara, di Dhammasena juga ada dance, olah raga, dan kegiatan lainnya. Dhammasena menjadi rumah kedua bagi mahasiswa Buddhis Trisakti, terutama bagi kami yang berasal dari luar daerah. Bukan saja kami bisa mengisi waktu luang kami di sana, tetapi kami jadi bisa mengenal teman-teman dan kakak senior dari berbagai jurusan, dan semua memberikan kehangatan bagaikan keluarga sendiri. Memang tidak semua cerita manis, ada beberapa kali pengalaman yang mungkin membuat kesal ataupun marah. Tetapi dalam hidup ini tidak semua berjalan mulus, seperti halnya obat pahit yang justru menyembuhkan, kadangkala kita butuh kesusahan di dalam membentuk kepribadian kita. Pahit-manis, susah-senang, semua sangatlah relatif karena kita masih berpatokan ke diri kita sebagai tolok ukurnya. Asalkan kita bisa belajar dan mengambil hikmahnya, semua itu sesungguhnya memberi kita manfaat.

Di satu kepengurusan aku sempat dipercaya sebagai koordinator penyelenggara kebaktian di kampus A, dan aku punya team dengan masing-masing tanggungjawab. Ada yang bertugas menggambar poster, menelepon penceramah, memastikan ruangan, menempel poster dan lain sebagainya. Pernah suatu hari seluruh anggota teamku sibuk, mungkin karena mendekati masa-masa ujian, sehingga dengan terpaksa aku sendiri yang mengerjakan semuanya. Waktu itu mungkin yang aku rasakan adalah kesal dan marah, tapi setelah semua berlalu, aku justru bersyukur, karena kondisi itu sesungguhnya sudah memberiku pelajaran dan pengalaman berharga. Aku jadi belajar bagaimana harus menghubungi pembicara yang akan memberikan ceramah Dhamma. Aku belajar untuk mengembangkan kemampuan menggambarku yang sebenarnya sangat minim. Tapi saat melihat poster hasil karyaku tertempel di lingkungan kampus, hm… rasanya bangga juga ya! Yang utama aku belajar bagaimana bersabar dalam menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan, dan ini adalah pelajaran yang sangat berharga buatku.

Pengalaman paling tak terlupakan buatku di Dhammasena adalah saat perayaan lima belas tahun Dhammasena pada tahun 2000. Waktu itu aku dipercaya sebagai salah satu team yang menangani pameran Borobudur. Aku harus membuat narasi foto-foto yang akan dipamerkan. Aku tidak pernah memiliki komputer sampai aku lulus kuliah, dan untuk mengerjakan pameran ini aku harus menumpang di komputer teman kostku dan terakhir kali sampai harus menginap tidak tidur, alias begadang, di kampus untuk menyelesaikan narasi panel cerita Jataka. Sangat melelahkan memang, tetapi aku sangat senang, terlebih lagi melihat semangat seluruh Prajurit Dhamma, tidak hanya kami para mahasiswa tetapi juga alumni semua turun untuk bekerja bersama-sama demi kesuksesan acara. Aku jadi berpikir seandainya waktu itu kondisi sudah seperti sekarang, teknologi sudah sedemikian maju, akses internet dengan mudah diperoleh, mungkin aku akan bisa mendapatkan bahan referensi dari internet kapanpun aku mau dan pekerjaan akan jauh mejadi lebih mudah. Dengan kemajuan teknologi saat ini seharusnya lebih banyak lagi yang bisa kita perbuat di Dhammasena.

Sekian banyak kegiatan di Dhammasena, lalu apakah aku melupakan tugasku yang utama sebagai mahasiswa? Tentu saja tidak! Aku bukan berasal dari keluarga berada, susah payah kedua orangtuaku membiayaiku untuk bisa kuliah di Trisakti. Dengan segala kesibukan kuliah aku tetap mencoba untuk membagi waktu dengan Dhammasena. Aku menyadari dalam hidup kita perlu keseimbangan, tidak hanya pendidikan formal saja, tetapi juga pembelajaran yang lain, belajar berorganisasi, belajar bersosialisasi, dan itu semua sangat kurasakan manfaatnya sekarang.

Kampusku sekarang mungkin berbeda dengan kampusku yang dulu, tetapi aku berharap Dhammasena bisa terus ada dan berkarya. Kondisi saat ini mungkin tak sama dengan dulu, mengenal ajaran Buddha berarti memahami ketidakkekalan di dunia ini, segala sesuatu bisa berubah, dan justru hal inilah yang membuatku tetap mengikuti ajaran sang Guru. Buat sebagian orang agama Buddha mungkin dianggap sebagai agama yang pesimis karena memandang kehidupan ini sebagai sebuah penderitaan. Tapi sesungguhnya arti ’dukkha’ adalah ’ketidakpuasan’. Benarkah hidup ini merupakan ketidakpuasan? Jika kita tidak mendapatkan apa yang kita mau, jika yang terjadi tidak seperti yang kita harapkan, bukankah kita merasa tidak puas? Bukankah karena tidak puas itu kita jadi merasa menderita? Itulah ’dukkha’ yang sesungguhnya. Tetapi Buddha tidak hanya mengajarkan bahwa hidup ini adalah ’dukkha’ tetapi juga sudah menunjukkan jalan untuk melenyapkannya. Oleh sebab itulah bagiku ajaran Buddha bukanlah sebuah ajaran yang pesimis, justru sebaliknya sebuah ajaran yang optimis, karena dengan memahami hukum karma, tiada sebab yang tanpa berakibat dan tiada akibat tanpa sebab, maka masa depanku, aku sendirilah yang menentukan. Demikian juga dengan masa depan Dhammasena, sesulit apapun kondisi yang ada, kita semua bisa mengusahakan yang terbaik untuk kelangsungan Dhammasena.

Bicara tentang Dhammasena mungkin akan banyak sekali cerita dan semua sudah tersimpan dengan indah sebagai memory dalam ingatanku dan ingatan para Prajurit Dhamma lainnya. Beberapa cerita bahkan telah terukir menjadi sejarah. Semua kegembiraan dan kesulitan yang mungkin pernah kualami di dalam Dhammasena telah memberiku pelajaran yang berharga dan membentuk aku hari ini. Harapanku dan mungkin juga harapan seluruh alumni Dhammasena, adik-adik mahasiswa Buddhis di Trisakti bisa belajar di Dhammasena, bisa berkarya melalui Dhammasena, dan bisa mengukir sejarah baru untuk Dhammasena, karena kita semua adalah Prajurit Dhamma.
~ Jen ~